Thursday 14 August 2014

Dia

Bersamanya kini aku tahu bagaimana cara mengeja tawa, merangkai harap, dan bagaimana cara merindu, bahkan mencintai. Bersamanya, aku kini tak lagi tinggal bersama bayangan orang lain. Aku melihat dirinya utuh.  Berdiri di hadapanku sekarang. Tersenyum. Dia. Hanya dia. Bukan orang lain. Bukan siapa.

Saturday 28 December 2013

Padang Bulan

Kami berjalan menyusuri padang bulan. Beratapkan langit dan bintang-bintang yang menggantung. Gelap kian pekat. Semilir angin berhembus membisiki telinga. Dingin, tapi aku tahu dia di sampingku.

Tangan kami bergesekan dan seketika aku merasakan sentuhan yang halus, juga tulus. Ia menggenggam tanganku erat. Mendadak kupu-kupu berhamburan di dalam perutku. Lucu dan sedikit menggelitik. Sesekali aku melihat tangan kami yang saling terpaut, lalu tersenyum sendiri. Baru kali ini ada seorang pria menggenggam jemariku. Seperti pula halnya ia memiliki hatiku. Tuhan, seperti inikah rasanya?

Dari kejauhan aku melihat beberapa tangkai mawar merah di atas bangku kayu yang ditemani temaramnya lampu taman. Sederhana, namun indah. Aku tahu, dia selalu penuh kejutan. Dia tahu betul aku pengagum bunga. Sama halnya seperti aku mengagumi senja, laut, bintang, dan..... dia. Malam itu, ia memberikan tetes surga pada setiap mahkotanya. Manis sekali.

Dia menarik tanganku. Mengajak ke suatu tempat yang menurutnya pasti ku suka. Kami berhenti di tengah hamparan hijau yang luas. Hanya ada kami. Lalu berbaring di atas rumput yang lembut layaknya permadani. Memandangi langit. Menghitung bintang dan menyatukannya dengan telunjuk kami. Entah sedang membentuk rasi apa. Tak banyak kata yang terucap saat itu. Sesekali hanya terdengar tawa geli dari mulut kami. Membodoh-bodohi diri sendiri. Lalu kembali diam, tenggelam dalam perasaan.

Kemudian ia berbisik....
Aku Sayang Kamu

Hello!

Cause then, you shouldn't stop on someone (who doesn't love you back). You deserve better. Take a look!

Perihal Melepaskan

Bahwa tidak ada yang mudah. Termasuk melepaskan. Karena hakikatnya, melepaskan tak pernah sesederhana itu. Melepaskan mungkin berarti mengikhlaskan. Atau mungkin menyerah. Atau mungkin juga belajar realistis. Terlalu ambigu. 

Sunday 22 December 2013

Tembok

Aku mendengar kisahnya. Dan seketika aku berada di dimensi waktu yang berbeda. Saat aku masih berdiri di satu ruangan yang bahkan sudah lama ditinggal penghuninya yang lain. Saat aku sedang sibuk-sibuknya membangun tembok besar dan benteng pertahanan yang kokoh. Aku sibuk. Terlalu sibuk.

Aku mengerti sekarang kenapa teman-temanku begitu membenciku ketika aku terus-menerus bercerita hal yang sama. Pun tentang orang yang sama. Selama bertahun-tahun. Aku mengerti sekarang mengapa aku dengan bodohnya mengabaikan yang lain dan lupa membangun jembatan. Walau hanya jembatan kayu atau bahkan seutas tali. Aku lupa. Aku lupa bagaimana cara memberi kesempatan kepada orang lain. Aku lupa bagaimana cara mempersilahkan yang lain masuk. Aku lupa bagaimana jatuh cinta. 

Dan ketika tembok itu mulai runtuh, aku menyangkalnya. Menyangkal bahwa cinta yang lain kini mulai masuk perlahan. Aku justru sibuk mencari material lain untuk membangun tembok yang lebih besar, lebih kuat, lebih kokoh, dan lebih segalanya. Ruangan ini hanya untuknya.

Tetapi waktu terus berlalu dan langit tak lagi secerah dahulu. Waktuku tergerus. Bahwa hidup terus berjalan. Bahwa kesempatan itu ada. Dan cinta yang baru akan menggantikan yang lama jika kamu percaya..