Saturday, 1 December 2012

Surat yang Tak Pernah Sampai

Suratmu itu tidak akan pernah terkirim, karena sebenarnya kamu hanya ingin berbicara pada dirimu sendiri. Kamu ingin berdiskusi dengan angin, dengan malam, dengan detik jam... tentang dia. Dia yang tidak pernah kamu mengerti. Dia, racun yang membunuhmu perlahan.

Kalau saja hidup tidak berevolusi, kalau saja sebuah momen dapat selamanya menjadi fosil tanpa terganggu, kalau saja kekuatan kosmik mampu stagnan di satu titik, maka... tanpa ragu kamu akan memilih satu detik bersamanya untuk diabadikan. Cukup satu.

Tapi, hidup ini cair. Semesta ini bergerak. Realitas berubah. Seluruh simpul dari kesadaran kita berkembang mekar. Hidup akan mengikis apa saja yang yang memilih diam, memaksa kita untuk mengikuti arus agungnya yang jujur tapi penuh rahasia. Kamu, tidak terkecuali.

Dialah bagian terbesar dalam hidupmu, tapi kamu cemas. Kata "sejarah" mulai menggantung hati-hati di atas sana. Sejarah kalian. Kamu pertaruhkan segalanya demi apa yang kamu rasa benar. Dan mencintainya menjadi kebenaran tertinggimu.

Lama bagi kamu untuk berani menoleh ke belakang, menghitung, berapa banyakkah pengalaman nyata yang kalian alami bersama?

Cinta butuh dipelihara. Bahwa di dalam sepak terjangnya yang serba mengejutkan, cinta ternyata masih butuh mekanisme agar mampu bertahan. Cinta tidak hanya pikiran dan kenangan. Lebih besar, cinta adalah dia dan kamu. Interaksi. 

Hingga akhirnya, di meja itu, kamu dikelilingi tulisan tangannya yang tersisa (Kamu baru sadar betapa tidak adilnya ini semua. Kenapa harus kamu yang kebagian tugas dokumentasi dan arsip, sehingga cuma kamulah yang tersiksa?). Jangan heran kalau kamu menangis sejadi-jadinya.

Sampai pada halaman ke dua suratmu, kamu yakin dia akan paham, atau setidaknya setengah memahami, betapa sulitnya perpisahan yang yang dilakukan sendirian. Tidak ada sepasang mata lain yang mampu meyakinkanmu bahwa ini memang sudah usai. Kamu pun tersadar, itulah perpisahan paling sepi yang pernah kamu alami.

Ketika surat itu tiba di titiknya yang terakhir, masih akan ada sejumput kamu yang bertengger tak mau pergi dari perbatasan usai dan tidak usai. Dirimu yang mini, tapi keras kepala, memilih untuk tidak ikut pergi bersama yang lain, menetap untuk terus menemani sejarah. Dan karena waktu semakin larut, tenagamu pun sudah menyurut, maka kamu akan membiarkan si kecil itu bertahan semaunya.

Adapted from Dee - Surat yang Tak Pernah Sampai

No comments: